Oleh: Hadad Fauzi Musthofa
"Pengajaran harus bersifat kebangsaan, kalau pengajaran bagi anak-anak tidak berdasarkan kenasionalan, anak-anak tak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama terpisah dari bangsanya kemudian barangkali menjadi lawan kita. Pengajaran Nasional itulah hak dan kewajiban kita”.
(Ki Hadjar Dewantara, 1928)
Siapa yang tidak tahu beliau, beliau digaungkan sebagai bapak pendidikan di Indonesia dengan pergulatan pemikirannya, dasar-dasar pemikiran meliputi pendidikan yang digunakan sebagai tihang untuk membangun bangsa ini, beliau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1923 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; 2 Mei 1889 – 26 April 1959, selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, guru bangsa, agent, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Sekaligus pendiri Perguruan Taman Siswa, yaitu suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priayi maupun orang-orang Belanda.
Dalam beberapa kisahnya, beliau ini masih termasuk cicit dari Paku Alam 3, yang berarti kaum bangsawan dan dari keturunan Ibu, beliau termasuk keturunan dari Mbah Sunan Kalijaga akan tetapi dengan gelar bagsawan itu tidak mejadikannya sumringah kepala besar, malahan selepas pengasingan dari Belanda dengan kedua temannya beliau melepaskan gelar kebangsawanan dengan alasan agar supaya dekat dan mampu bergerak bebas bersama rakyat biasa, penulis berpikir nilai inilah yang membuat beliau mempunyai gagasan pemikirannya soal kebangsaan, artinya bahwa cinta kasih sesama manusia, berbagi, dan berjuang melawan penjajah tumbuh begitu subur di dalam hatinya sehingga keinginannya merengkuh hidup baik, dan daya juang melepaskan keadaan dari penjajahan dengan tercpitanya Taman Siswa (1922).
"Ing Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" adalah semboyan utama dalam pemikiran beliau, yang berarti "yang di depan memberi contoh, yang ditengah menyemangati dan yang di belakang memberi dorongan" sebagai pilar utama dalam falasah pendidikan, meski dalam proses berpikirnya disinyalir dari beberapa tokoh luar seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore tidak membuatnya hilang keJawaannya terlebih untuk mengentaskan kaum pribumi dari penjajah. Konsep dalam berpikirnya cukup menarik, seperti nilai dalam pendidikan adalah sejauh mana manusia itu merdeka dengan dirinya, merdeka disini kita bisa artikan dengan keluasan hati yang utuh, akan tetapi keluasan hati itu juga kita diperkenankan untuk penghormatan terhadap kemerdekaan orang lain (maksudnya tidak merdeka dengan semau kita, ada persoalan yang khusus dalam hal ini) yang tidak bergantung dengan orang lain, yang mandiri, dan kemerdekaan bathin agar supaya orang lebih insyaf akan wajib dan haknya sebagai anggauta dari persatuan rakyat (lihat hal 4).
Beliau juga menentang asas pendidikan Nederland yang bersikap koloni, sampai mengakatan bahwa "Sesungguhnya kita sendirilah yang dapat merasakan dan memikirkan akan kepentingan pengajaran nasional, sebelum kita mempunyai Pemerintah Nasional sendiri!". Saking kuatnya untuk mandiri beliau menyarankan untuk tidak menerima subsidi dari pemerintah Nederland atau orang lain (yang berkepentingan) yang menurutnya dapat mengurangi keleluasaan kemerdekaan itu. Boleh menerima bantuan asalkan kita tidak terikat dalam sesuatu apa pun yang bersangkutan dengan mereka (pemodal) baik dohir maupun bathin. Tuturnya saat itu
Kemudian sistem yang berasas Nasional, beliau menitik beratkan saat itu untuk mementingkan pelajaran bahasanya sendiri agar senantiasa melekat perhubungan bathin dengan orang tuanya sendiri terlebih oleh bangsanya sendiri (hal 11) Falasafah yang dibangun oleh Ki Hadjar persisnya dalam banyak bahasa Jawa, seperti tujuan misinya Tri Rahayu pendidikan yakni Hamemayu Hayuning Sarira, Hamemayu Hayuning Bongso, dan Hamemayu Hayuning Bawono. Dari ketiganya dapat dimengerti Hamemayu Hayuning yang berrarti mempercantik diri, bangsa dan alam raya kemduian Tri Mong yakni Momong, Among dan Ngemong. Momong berarti merawat dengan kasih sayang, Among memberi contoh tanpa memaksa atau mengambil hak anak, dan Ngemong mengamati, merawat, menjaga berdasarkan nilai-nilai yang sesuai kodratnya. Sebagai ranah tempat dalam proses pembentukan dan pembelajaran beliau juga memusatkan pada 3 falasafah yakni yang termuat dalam Tri Pusat, pertama Keluarga, kedua Perguruan dan ketiga Pergerakan (pemuda untuk menemukan fassion, merdeka dan penguasaan).
Dari penulis yang sedikit diketahui bahwa Ki hadjar melihat system pendidkan barat yang menganut system regering, tucht dan orde (perintah, hukuman dan ketertiban) menurutnya system pendidikan seperti itu seakan perkosaan atas kehidupan bathij anak-anak, ia juga mengatakan bahwa seakan akan itu hidup dalam tekanan dan hukuman, pada akhirnya sikap anak tidak akan memunculkan kepribadian yang piawai dalam kehidupannya, lalu yang bagaimana, jika ditanyaakan. Beliau berpendapat bahwa sikap dari pendidik adalah merawat Panggulawentah (Jawa) yang artinya proses membikin gula. Pikir penulis sebelum jauh ke sana, pastinya dari apa yang dilihat melalui perspektif barat adalah sebagai daya ketergantunggan akan budayanya, maksudnya bukankah setiap negara berbeda akan budayanya, jadi asas ini berdasarkan kebutuhannya, jika objek dari pendidikan itu anak-anak pastinya dengan watak akar guru yang seperti diatas cukup dikatakan menyeramkan bukan. Nah yang disarankan beliau yakni termasuk dalam Tri Mong itu,
Paksaan itu cukup dikatakan tidak baik, maksudnya memaksa yang berlebihan sampai diluar nalar. Cukup kata beliau adalah hanya dengan cara mencampuri urusan si anak jika kalau si anak itu sedang jalan pada tempat yang salah. Kita bisa berpikir secara mendalam bahwa yang digagas adalah kedekatan dengan menjalin obrolan tertentu agar senantiasa terbangun cemestri antara guru dan murid. Kita tidaklah memakai dasar “Regering, tucht en orde” tetapi “Orde, en vrede” (tertib dan damai) atau tata tentrem. Kita akan senantiasa menjaga atas kelangsungan hidup bathin sang anak, tetapi kita pun harus mengamati gerak-geriknya (Ilmu titen) agar anak dapat bertumbuh menurut kodratnya.
Dari kesemuaannya yang sudah disebutkan di atas, tidak sedikit yang memerlukan perluasan dalam pemikiran beliau, semuanya bisa ditunjukkan sebagai 2 pilar dalam tombak lingkup pendidikan dinataranya adalah guru dan murid, namun dalam aspek yang luas mengenai pendapat beliau tentang pendidikan adalah pendidikan sebagai upaya untuk jalan keselamatan, kebahagiaan yang setinggi-tingginya yang bermerdeka batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.
Bibilografi Ki Hadjar Dewantara
Beliau berasal dari kadipaten Pakualaman Yogyakarta, lahir pada 2 Mei 1889, pendidikan dasarnya di Europeecshe Lagere School(sekila khusus anak Eropa) dan STOVIA (tidak sampai lulus). Pekerjaannya sebagai penulis, wartawan dan ciri dari kepenulisannya bergaya anti colonial, ia juga pernah menjabat sebagai menteri pengajaran Indonesia ke-1 (masa jabatan September-November 1945) dalam keorganisasian beliau terlibat dalam UNESCO, Insulinde (organisasi multitejnik kaum muda Indo anti Hindia Belanda yang dipengaruhi oleh Ernest Douwes Dekker), dan BO (Budi Oetomo 1908). Di dalam BO sendiri beliau menjabat sebagai seksi propaganda untuk mensosialisasikan pentingnya persatuan.
Pada tahun 1913 ia mengkritik belanda atas kebijakannya untuk menariki uang terhadap kaum Indo untuk modal perayaan kemerdekaan Belanda di Paris, tulisan tersebut berjudul “Een voor alen maar ook allen voor een” satu untuk semua atau semua untuk satu, dan yang paling popular adalah “Als ik een Nederlander was” seandainya aku orang belanda, pada intnya tulisan tersebut menyindir koloni atas kelakunnya sendiri dengan perumpamaan bahwa mereka sebenarnya melakukan penghinaan terhadap badan mereka sendiri dikarenakan mereka mengambil uang dari negeri yang telah mereka rampas. Hal ini mengisyaratkan bahwa mereka berarti seorang jiwa miskin, kemudian beliau menuliskan di akhir kalimatnya “hal yang menyinggung perasaanku ialah kenyataan bahwa inlender diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingannya sedikit pun baginya”. Berkat tulisan inilah beliau akhirnya ditangkap kemudian diasingkan di pulau Bangka oleh Jendral Inderburgh, sebagai rasa kesetiakawanan kedua temannya (Dd dan Tjipto Mangunkusumo) memprotes hal ini dan pada akhrinya mereka pun ikut di asingkan tetapi dengan tempat yang kian jauh yakni Belanda, ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai” dan Ki Hadjar saat itu berusia 24 tahun.
Di belanda ia aktif dalam organisasi para pelajar asal Indo, Indhische Vereeniging atau perhimpunan Hindia, bahkan ia mendirikan kantor berita Indo. Penulis berpikir justru hikmah dan kesempatan itu terlahir ketika kita sedang mendapatkan sesuatu yang memang sesuatu tersebut bisa kita katakana sebagai bencana, coba dipirkan. Dalam pengasingan itu kesempatan untuk belajar dan tahu akan ilmu yang di Indo sendiri tidak ditemukan, terlebih memperkuat jaringan yang nantinya selepas pulang dijadikan untuk bekal dasar dari apa yang dicita-citakan, ya seperti Ki Hadjar ini.
Tepat pada tahun 1919 ia kembali pada Rahim ibu (Indonesia) yang ia lakukan adalah ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya (informasi yang penulis dapat dari kajian Filsafat Jendral Sudirman Yogya) beliau mengajar di lembaga Kakaknya. Kemudian pada 3 Juli 1922 ia mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta tepat saat genap usia 40 tahun. Samapai pada meniti karirnya ia juga mendapatkan gelar Hc dari Universitas Gadjah Mada. Karier dan perjuangnnya terus melekat dan tidak putus begitu saja, gagasan pokok, pemikiran yang berliannya mampu menyulap dan menanamkan nilai-nilai etis dan praktis dalam pendidikan di Indonesia ini, sebagai rasa penghormatannya hari lahir beliua pun turut dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional tepatnya pada tanggal 2 bulan Mei.
Kita harus mengerti, setiap perkara yang hidup pasti akan kembali (tiada) dan berganti. Akan tetapi ide-ide dan pemikirannya akan abadi selalu yang mampu tertuang dikemudian hari dikenal dan dikaji oleh banyak jiwa. Selayaknya pertemuan maka perpisahan pun tercipta.
Beliau kembali ke haribaan Tuhan yang Maha Kasih pada tanggal 26 April 1959 di Padepokan Ki Hadjar Dewantara dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29 April 1959. Lestari Pahlawanku.
1. Peralatan pendidikan
A. Memberi contoh pembiasaan, masa kanak-kanak 1-7 tahun.
Membiasakan tertib pada anak-anak akan muncul Habbit Of Mine seperti Nabi Muhammad menyuruh anak untuk sholat di usia 7 tahun, seperti antri dan pembiasaan lainnya.
B. Pengajaran, perintah-paksaan-hukuman. 7-14 tahun.
C. Laku (zelfdiscpiliner) masa terbentuk budi pekerti dan kesadaran 14-21 tahun.
Masa terbentuknya karakter, social, dan pengalaman yang akan berpengaruh.
2. Konsep pendidikan menuju kesempurnaan hidup
A. Pendidikan sesuaikan dengan kodratnya
B. Sesuaikan dengan situasi kita masing-masing (adat kebiasaan daerahnya)
C. Adat sebagai peri kehidupan atau sifat percampuran usaha akan tetapi tidak lepas dari pengaruh jaman dan senantiasa akan berubah.
D. Perlunya membaca jaman yang telah lalu, situasi masa kini dan menerawang keadaan masa depan.
E. Pengaruh barulah diperoleh dari percampuran modern, haruslah memilih yang baik dan buruk.
3. Pendidikan kerakyatan 1
Rakyat yang kuat akan membat negeri ini makmur, maka dari itu rakyat harus terdidik dengan menanamkan harus mencintai bangsanya akan membuat mekera menjadi sosok yang memiliki rasa kemanusian.
4. Pendidikan kerakyatan 2
Jangan sampai sekolah menjauhkan anak-anak dari keluarga rakyatnya (artinya dalam pelajaran yang didapat harus sesuai dengan kadar akal mansuianya). Membangun budi pekerti, budi kesosialan. Pendidikan jangan terus menuntut atas capaian akademiknya. Dan pendidikan harus membangun dasar atas komitmen budayanya.
Penulis : Hadad Fauzi Musthofa, S. Pd
Pria kelahiran Cirebon, 04 Maret 2001 ini menyukai jus alpukat, kesehariannya ia masih sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Membaca, bersepeda dan mengunjungi kota-kota adalah sesuatu yang dia sukai. Pendidikan S1 ia tamatkan di salah satu Kampus di Cirebon yakni IPEBA (Institut Pesantren Babakan Cirebon) dan bermanfaat untuk sesama adalah sekian dari moto hidupnya.
0 Comments
BACABARU: Tips mendapatkan profesi yang dibutuhkan, meningkatkan keterampilan / hobi dan pekerjaan baru yang relevan